Sabtu, 28 Maret 2015

OPINI

Antara
Investasi, Monopoli dan Penyadapan

Pengantar.
Arus Internasionalisasi capital merupakan perkembangan termaju dari perkembangan capital industri dan capital dagang yang membentuk sebuah oligarki finance yang termanifestasi secara konkret dalam sistem Bretton Woods (new hampshire; 1944) sebagai rahim yang melahirkan International Monetary Fund (IMF) dan juga “saudara”nya yakni, Internasional Bank for Recontruction and Development (IBRD) atau Bank Dunia paska Great Depression pada dekade 1930-an, segitiga inilah yang mengantarkan sistem capitalis menuju puncaknya yaitu Imperialism.
Pada perkembangannya, Internasionalisasi kekuasaan pengendalian modal terus menyebar dan telah mempengaruhi perkembangan Sosial, Ekonomi, Politik dan Kebudayaan di berbagai penjuru dunia. Kapitalisme monopoli Internasional (Imperialisme) sebagai fase akhir dari system kapitalisme sekarang ini, terus menyebarkan pengaruh dan memperkuat dominasinya diberbagai belahan dunia melalui cara-cara kasar Provokasi, operasi intelejen dan Agresi Militer maupun cara-cara halus Utang dan Investasi dengan menjerat negara-negara berkembang khususnya di Asia dalam suatu wadah seperti APEC (Asia Pasific Economic Cooeporations) dan menariknya kedalam media yang lebih besar yakni WTO (Word Trade Organization).
Dalam tulisan ini, penulis lebih ingin menyoroti masalah ekspansi Capital dalam bentuk Investasi sampai pada Monopoli dalam bidang Telekomunikasi di Indonesia, selain karena tidak ingin terlalu melebar hal ini juga berkaitan dengan sebuah fenomena yang hadir sebagai sebuah kenyataan dimana terjadi kasus penyadapan orang-orang penting dinegeri ini seperti Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono (“SBY”), Ani Yudhoyono, Wapres Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Menpora Andi Mallarangeng, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, mantan Menkeu Sri Mulyani, Widodo Adi Sucipto, dan Sofyan Djali dengan satu kesimpulan akhir bahwa kedudukan Korporasi Telekomunikasi memegang peranan penting dan bertanggung jawab terhadap bocornya rahasia negara.
Dari Investasi ke Monopoli Komunikasi.
Investasi atau penanaman modal dalam berbagai kepustakaan ekonomi atau hukum bisnis dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung baik oleh investor lokal maupun asing dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing dalam bentuk portofolio melalui lembaga pasar modal (Capital Market) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penanaman Modal.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UUPM”) Pasal 1 sendiri memberikan definisi terkait investasi yakni “penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha diwilayah Negara Republik Indonesia”.
Adapun bentuk atau model investasi ada beberapa versi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Michael J. Trebilcock dan Robert Howse, Investasi langsung asing biasanya menggunakan satu dari tiga bentuk berikut : pemberian dana modal misalnya dalam joint venture atau pabrik baru; investasi baru untuk mendapatkan perusahaan dan peminjaman jaringan melalui perusahaan induk atau partnernya”
Lalu apa itu Monopoli ?
Monopoli adalah penggabungan dari beberapa kekuatan produksi (perusahaan) dalam mencari dan membagi-bagi serta mengendalikan wilayah pasar dunia untuk kepentingan akumulasi kapitalnya masing-masing. Monopoli terjadi bukanlah karena murni keinginan dari para pemilik modal, akan tetapi merupakan hal yang terpaksa dilakukan karena menghadapi persaingan yang semakin pesat. Karena  logika dalam cara produksi kapitalisme adalah saling menghancurkan antara perusahaan yang satu dengan yang lainnya.
Watak dasar dari Capitalism Monopoli yang “Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif” telah menciptakan sebuah keadaan yang tidak biasa (krisis) dimana konsentrasi capital berada pada segelintir klas (Imperialis) dan disisi lain kesengsaraan dan penderitaan berada di pundak rakyat diseluruh dunia. Skema Penghisapan Imperialis telah dijalankan dengan baik oleh rezim dalam negeri melalui penindasan dan fasisme, secara sistemik melalui kebijakan (deregulasi) maupun melalui perangkat kekerasan negara yakni Tentara dan Polri;
Publik tentu masih ingat kejadian krisis moneter (“krismon”) yang berawal di Thailand pada Juli 1997 dan memengaruhi mata uang, bursa saham serta harga aset lainnya di beberapa negara Asia termasuk di Indonesia yang disebabkan oleh liberalisasi perbankkan, kegagalan management ekonomi makro, kelemahan sektor financial dan membesarnya cronycapitalism dan sistem politik yang otoriter dan sentralistik.
Krisis Moneter inilah yang merupakan pelempang awal menuju krisis politik yang mengetuk pintu reformasi di negeri ini, akan tetapi pergantian rezim tidak mengubah wajah perekonomian di Indonesia menjadi lebih baik, cara pandang, analisa dan strategi yang sama dari Rezim Soeharto, Habibie, maupun Rezim  baru Gus Dur-Mega serta IMF sebagai wakil modal Internasional dalam mengatasi Krisis Moneter saat itu telah mengantarkan pada kesepakatan skema SAP (Structural Adjusment Program)  atau Program Penyesuaian Struktural yang didiktekan IMF melalui LoI (Letter of Intents) kepada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis besar adalah cetak biru dari kebijakan Wasington consesus : Liberalisasi perdagangan, Privatisasi/swastanisasi BUMN, deregulasi, Penghapusan subsidi   (BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, telepon, dan lain- lain) dan Restrukturisasi keuangan;
Dalam konteks SAP tentang Liberalisasi perdagangan dan Privatisasi/swastanisasi BUMN tersebut, Rezim Gusdur (Abdurrahman Wahid) berusaha  meyakinkan rakyat, bahwa untuk menutupi kekurangan (defisit) anggaran APBN, tidak ada jalan lain, kecuali menjual BUMN-BUMN untuk memperoleh devisa. Argumen yang diajukan untuk memperkuat adalah:  bahwa BUMN-BUMN tersebut  selama ini menjadi sarang korupsi, dan pengelolaan oleh swasta akan lebih menguntungkan negara. Maka  yang terjadi kemudian adalah puluhan BUMN dijual, atau sedang dalam proses penjualan.  Antara  lain: PT Pupuk Kaltim, PTP Nusantara IV, PTP Nusantara IV, PTP VI, PT Tambang batubara Bukit Asam, PT. Indofarma, PT. Kimia Farma, PT Angkasa Pura II, PT. Aneka Tambang TBK, PT. Semen Padang, PT. Semen Gresik (sudah terjual), PT. Pelindo II Tanjung Priok, PT. Pelindo III Surabaya, PT Jasa Marga, PT. Krakatau Steel, dan PT. Indosat dari keseluruhan BUMN yang dimiliki pemerintah, yang berjumlah sekitar 160 BUMN. Tidak terhitung lagi perusahaan yang semula bukan BUMN, tetapi karena tersangkut kredit macet dan BLBI, akhirnya disita dan dikelola oleh BPPN, dan kemudian dijual lagi kepada swasta seperti: PT. Astra, Bank BCA, dan lain- lain;
Pasca turunnya Gusdur secara dramatis, Era kepemimpinan Megawati-Hamzah juga tidak mau kalah, liberalisasi sektor publik melalui swastanisasi BUMN bidang telekomunikasi juga dilakukan, melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1999 dan dengan persetujuan DPR RI, pemerintah melakukan penjualan sebagian saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94 persen  kepada Singapore Technology Telemedia (“STT”) dan Saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) Tbk Sebesar 35 persen kepada Singapore Telekom (“SingTel”) yang keduanya merupakan anak perusahaan dari TEMASEK Holding Group Ltd Singapura.
Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk pada awalnya merupakan provider telekomunikasi BUMN terbesar di Indonesia. Kedua perusahaan tersebut memiliki cakupan pasar sekitar 80 persen dibandingkan dengan provider telekomunikasi yang lain sehingga secara tidak langsung Temasek Holding Group Ltd Singapura yang memegang lebih dari sepertiga saham dan memiliki kewenangan untuk mempengaruhi kebijaksanaan, strategi dan profit dari PT Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk atau bisa dikatakan bahwa Temasek Holding Group Ltd Singapura tersebut merupakan Multi National Corporation yang menguasai hajat hidup orang banyak di Indonesia terkait telekomunikasi.
Selain Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk, Temasek pada Juli 2002 bersama Hutchinson Whampoa membeli Global Crosing senilai US$ 750 juta. Global Crosing adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia yang menguasai jaringan serat optik sepanjang 10 ribu mil yang menjangkau 27 negara di dunia termasuk Amerika, Eropa dan Asia Pasifik, Dalam pengembangan jaringan globalnya, STT pada Oktober 2002 juga membeli Equinix dan Pihana Pasific. Keduanya adalah penyelenggara internet business exchange (IBM) sedang Pihana Pasific menyelenggarakan neutral internet exchange data center di Asia Pasific.
Investasi yang dilakukan oleh TEMASEK melalui anak perusahaan Indosat, Telkomsel, Global Crossing, Pihana Pasific dan Equinix, merupakan suatu bentuk monopoli di bidang telekomunikasi karena Temasek menguasai hampir separuh jaringan telekomunikasi yang ada didunia.
Swastanisasi yang dilakukan oleh rezim saat itu telah berdampak pada, selain kerugian material dan kesengsaraan rakyat, juga lebih kepada ancaman keamanan dan keselamatan negara. Hal ini tentu tidak terlepas dari kepentingan Imperialisme di Indonesia. Secara garis besar ada empat kepentingan Imperialisme di Indonesia yakni : Eksploitasi Sumber Daya Alam sebagai penyedia Bahan Baku Bagi Industri Imperialis, Eksploitasi Sumber Daya Manusia sebagai penyedia Tenaga Kerja Murah bagi Industri Imperialis, Area Pasar bagi Produk Imperialisme dan juga Sasaran Ekspansi Capital (Investasi dan utang);
Baru – baru ini kasus penyadapan terhadap SBY dan orang-orang disekitarnya,  diduga adanya keterkaitan peran salah satu vendor telekomukasi (singtel) yang bekerjasama dengan intelejent australia-AS untuk melakukan penyadapan;
Gejala ini seharusnya sudah dapat di deteksi oleh Pemerintah Indonesia, publik semua tahu bahwa krisis yang melanda tubuh Imperialis pimpinan Amerika Serikat yang berlangsung sejak 2000 dan puncaknya 2008- saat ini merupakan krisis yang paling buruk menerpa Imperialisme bahkan lebih parah dari Depresi Ekonomi Besar (Great Depression) yaitu krisis di era akhir 1920-an s/d 1930-an yang menjadi penyebab dari pecahnya Perang Dunia II.
Krisis yang bermula dari over produksi barang-barang tehknologi dan persenjataan tingkat tinggi dan sumprime mortgage (kredit macet perumahan) yang menyeret Imperialism Amerika Serikat kedalam krisis finansial, sehingga impe kemudian menciptakan satu opini terkait krisis energi dan pangan dunia sebagai legitimasi rencana busuknya untuk keluar dari krisis dengan melimpahkan beban krisis kepundak rakyat dunia dengan dalih kerja sama;
Penyadapan terhadap SBY sebagai mitra potensial (sasaran empuk) sejak tahun 2009 merupakan salah satu skema imperialis dalam mempertahankan ke-eksis’an sistem kapitalisme, mereka sadar bahwa sistem ini akan membawa masyarakat dunia pada suatu kesengsaraan akut, oleh karenanya dalam program politik selain mencari dan menciptakan negara jajahan baru atau setengah jajahan baru, mereka juga berupaya mempertahankan negara jajahan dan setengah jajahan yang telah berada dalam dominasinya. Dilapangan ekonomi impe akan memaksimalkan lembaga-lembaga dan forum-forum internasional guna mengkonsolidasikan negara-negara berkembang sebagai satu sasaran pelimbahan beban krisis, dilapangan kebudayaan impe fokus pada lembaga pendidikan, internet dan telekomunikasi guna mengkontrol aktivitas dan melakukan idiologisasi.

Berdasarkan analisa skema politik ekonomi dan budaya diatas maka penyadapan terhadap SBY merupakan suatu hal yang sudah dapat diprediksi sebelumnya, Imperialisme AS akan selalu memantau aktivitas negara sasaran Investasi guna tetap menjaga modal yang telah ditanam, apalagi hal ini menjelang pertemuan akbar petinggi Imperialis Dunia dan negara jajahannya (WTO) pada Desember 2013 di Bali . 

OPINI

OPINION

PARA PIHAK.

PENGGUGAT (badan hukum perdata berbentuk perseroan terbatas, memiliki hak pengusahaan hutan yang bergerak dibidang ekspor kayu jenis meranti)

TERGUGAT PT. YYY.

RANGKUMAN POSITA PENGGUGAT  :
Bahwa Penggugat adalah badan hukum perdata berbentuk perseroan terbatas yang memiliki Hak Penguasaan Hutan (HPH) tahun 1974, yang oleh masyarakat dikenal dengan ex PT. XXX  bergerak dibidang ekspor kayu-kayu log jenis meranti., kemudian untuk memperlancar usahanya Penggugat membangun Jalan Loging yang dulunya dilewati Truck PT. XXX ., yang terbentang Horizontal ke arah Timur sampai ke tepi Sungai Lematang sebagai titik nol,  sepanjang 27.700 m (terbilang dua puluh tujuh ribu tujuh ratus meter) dengan Lebar sepangjang 20 m (terbilang dua puluh meter) yang lokasinya sekarang terletak di Desa Padang Bindu Kecamatan Benakat Kabupaten Muara Enim Propinsi Sumatera Selatan.
Bahwa ternyata Jalan PT. XXX ., dibangun diatas tanah milik Masyarakat Adat Marga Benakat oleh karenanya Penggugat harus melepas tanah dengan mengganti rugi tanam tumbuh dan gubuk milik masyarakat sebesar Rp. 1000/m2 (terbilang seribu rupiah per meter bujur sangkar).
Oleh karena penggugat merasa memiliki hak pengusahaan hutan yang lokasinya Ex PT. XXX , dan merasa membangun jalan loging truck PT. XXX  sepanjang 27.700 m (terbilang dua puluh tujuh ribu tujuh ratus meter) dengan Lebar sepangjang 20 m (terbilang dua puluh meter) dan pernah melakukan ganti rugi kepada masyarakat dalam rangka pemakaian tanah untuk pembagunan pelebaran jalan, maka seolah-olah Penggugat memiliki hak milik atas jalan, sehingga siapapun yang melewati jalan Ex PT. XXX ., harus minta izin dan membayar uang sewa kepada Penggugat. 
Bahwa Tergugat medapat hak guna usaha untuk membangun kebun kelapa sawit yang lahannya terletak di kanan-kiri Jalan PT. XXX  sepanjang 6.500 m (enam ribu lima ratus meter) sejak tahun 1996 oleh karenanya Tergugat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dan harus membayar ganti rugi atas pemakaian dan perusakan jalan Ex PT. XXX., dalam bentuk sewa yang dianggap milik Penggugat.
ISU HUKUM :
1.      TENTANG KEPEMILIKAN TANAH JALAN OLEH PENGGUGAT
2.      TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS PEMAKAIAN TANAH JALAN.
3.      TENTANG GANTI RUGI DALAM BENTUK SEWA
ANALISA HUKUM
       I.            TENTANG KEPEMILIKAN TANAH JALAN PT. XXX.
DALAM KONSEP PEMEGANG HPH.
"Hak Pengusahaan Hutan" adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu Kawasan Hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan.(Pasal 1 ayat (1) PP 21 tahun 1970)
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah Badan Hukum Indonesia baik perusahaan negara, perusahaan swasta maupun perusahaan campuran yang didirikan berdasarkan hukum indonesia yang diberi hak Pengusahaan oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan sebagai izinnya yang berkewajiban melaksanakan pengusahaan hutan atas Areal Kerja Pengusahaan Hutan.
Pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam masa orde baru hanya dilakukan melalui mekanisme permohonan kepada dirjen kehutanan dan guna menindak lanjuti permohonan tersebut dirjen kehutanan melakukan rapat khusus untuk mendapatkan penilaian dari Tim teknis pemberi IUPHHK (dahulu Tim Teknis HPH) yang dilanjutkan dengan dilakukannya Perjanjian Pendahuluan. Setelah melakukan perjanjian pendahuluan pemohon dan dirjen kehutanan melakukan survey areal yang hasilnya akan digunakan untuk menyusun Feasibility Report dan penetapan batas-batas.
Jika Feasibility Report yang diajukan Pemohon disetujui maka dilakukan Perjanjian antara pemohon dengan ditjen yang di sahkan oleh dirjen kehutanan, perjanjian ini disebut Forestry Agreement
(ICW:kertas kerja no. 6: evaluasi mekanisme perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan hutan tanaman)
Dalam konteks Gugatan yang diajukan oleh Penggugat rol perkara No. --, dapat kita ketahui bahwa usaha untuk mendapatkan “Hak Pengusahaan Hutan” berdasarkan dalil Posita butir 1 (satu), dimulai Penggugat dengan melakukan aktivias survey areal seperti apa yang didalilkan dalam posita butir 2 (dua),
Sedang untuk memenuhi prasyarat awal dalam proses pengajuan “Hak Pengusahaan Hutan” yang akan dilampirkan dalam Feasibility Report guna Pengikatan perjanjian Forestry Agreement maka kemudian dibuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang didalamnya mencantumkan salah satu rencana Pembangunan Jalan PT. XXX  yang terbentang horizontal mulai dari perbatasan sebelah Timur HPH PT. XXX  sampai ke tepi sungai lematang sebagai titik nol sepanjang 27. 700 m (dua puluh tujuh ribu tujuh ratus meter) dengan lebar 20 m (dua puluh meter).
Dalam posita butir 3 (tiga) dan butir 4 (empat) gugatan Penggugat menjelaskan proses pembangunan Jalan PT. XXX  yang dimulai dengan terlebih dahulu melepaskan hak masyarakat sampai pada pembangunan Jalan PT. XXX  oleh Penggugat.
Bahwa dalam dalil Penggugat pada posita butir 8 (delapan), yang pada pokoknya menyatakan “bahwa perbuatan Tergugat yang telah memakai dan merusak jalan PT. XXX  adalah perbuatan melawan hukum terhadap milik Penggugat” menunjukan dengan tegas dan jelas bahwa Penggugat mendalilkan Jalan PT. XXX  merupakan hak milik Penggugat.
Bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yakni : Dalam Kawasan Hutan dapat dibuka tanah baik untuk penanaman bahan makanan guna keperluan sendiri maupun untuk bangunan-bangunan, jalan-jalan darat dan air, jembatan-jembatan dan lain-lain yang langsung diperlukan dalam pelaksanaan pengusahaan hutan tersebut, satu dan lain sebagaimana tercantum pada Rencana Karya Pengusahaan Hutan.
Bangunan-bangunan, jalan-jalan darat dan air, jembatan-jembatan tersebut diatas menjadi milik Negara pada waktu Hak Pengusahaan Hutan berakhir. Memberikan aturan bahwa jika HPH yang dipegang oleh Penggugat berakhir maka sarana dan prasarana yang telah dibangun menjadi milik negara. 
Bahwa dalil Penggugat pada posita butir satu ada menyatakan kalimat “sekarang oleh masyarakat setempat dikenal dengan Ex PT. XXX “ yang secara eksplisit maupun emplisit dapat diketahui bahwa HPH dari PT. XXX  telah berahir oleh karenanya semua sarana dan prasarana termasuk Jalam PT. XXX  menjadi milik negara.
DALAM KONSEP PERSEROAN TERBATAS
Bahwa Penggugat merupakan Badan Hukum yang bergerak dibidang ekspor kayu-kayu log jenis meranti yang berlokasi di EX PT. XXX    sehingga menjadi kebutuhan dan kewajiban serta kewajaran kemudian jika Penggugat  membangun jalan yang dulunya merupakan jalan PT. XXX   
Bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (vide Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960 “UUPA”), sedang yang dimaksud dengan fungsi sosial tanah adalah penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya hingga bermanfaat baik bagi yang mempunyai maupun bagi masyarakat dan negara
Bahwa penggunaan tanah yang diperuntukan sebagai jalan tranportasi merupakan satu implementasi dari konsepsi yang terkandung didalam pengertian dan penjelasan Pasal 6 UU. No. 5 Tahun 1960 “UUPA” tentang fungsi sosial tanah tersebut diatas, sehingga baik secara hukum maupun kepatutan Tergugat sama sekali tidak melakukan Perbuatan Melawan Hukum seperti apa yang didalilkan Penggugat.’
Bahwa walaupun Penggugat telah mendalilkan melakukan pelepasan hak tanah masyarakat yang diperuntukan bagi jalan dengan cara melakukan ganti rugi,  tetapi secara hukum Penggugat tidak mempunyai hak milik atas tanah yang saat ini dijadikan jalan, hal ini telah dijelasakan dalam ketentuan pasal 21 ayat 2 UUPA yakni “demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah”. sehingga apa yang dalilkan Penggugat pada posita butir nomor 8 halaman 2 yang menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memakai dan merusak jalan diatas milik Penggugat adalah dalil yang mengada-ada, tidak berdasar dan menyesatkan.
DALAM KONSEP HAK PENGELOLAAN TANAH
Bahwa jika dalil Penggugat dalam posita butir 8 (delapan), yang pada pokoknya menyatakan “bahwa perbuatan Tergugat yang telah memakai dan merusak jalan PT. XXX  adalah perbuatan melawan hukum terhadap milik PenggugatPendasaran hak milik pada “Hak pengelolaan tanah” sebagaimana Pasal 2 PMA No 9 /1965 menyatakan bahwa  ”Jika tanah negara selain dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat  diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak pengelolaan,  berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan instansi yang bersangkutan” maka dengan berahirnya HPH PT. XXX   mensyaratkan pula berahirnya Hak Pengelolaan Tanah Jalan PT. XXX  .
KESIMPULAN
Bahwa berdarkan uraian diatas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa Jalan PT. XXX  sebagai sarana tranportasi yang digunakan setelah berahirnya HPH PT. XXX  menjadi milik negara, selain itu Badan Hukum dalam bentuk perusahaan tidak dapat memiliki hak milik atas tanah.
Bahwa berdasarkan kesimpulan tersebut diatas maka Penggugat tidak mempunyai Kompetensi dan kualitas untuk melakukan Gugatan ini.

    II.            TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS PEMAKAIAN TANAH JALAN.
Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain atau satu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelaku baik telah diatur dalam undang-undang maupun yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban.
Perbuatan melawan hukum diatur dalam pasal 1365 BW memuat ketentuan sebagai berikut :
Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”
Dari pengertian tersebut diatas dapat diketahui unsur-unsur PMH sebagai berikut :
1.      Perbuatan melawan undang-undang
2.      Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara objektif maupun subjektif.
3.      Harus ada kerugian yang ditimbulkan.
4.      Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian.
Berdasarkan uraian diatas dan jika dihubungkan dengan dalil Penggugat dalam posita butir nomor 8 halaman 2 yang pada pokoknya menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memakai dan merusak jalan diatas milik Penggugat” dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama, tentang perbuatan melawan undang-undang, Bahwa Jalan PT. XXX  bukanlah milik Penggugat, melainkan jalan umum yang dimiliki oleh negara sehingga aktivitas Tergugat yang menggunakan Jalan Ex PT. XXX  adalah aktivitas yang tidak bertentangan dengan undang-undang manapun, tidak juga bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Kedua, tentang kesalahan, Bahwa dalam aktivitas Tergugat menggunakan Jalan PT. XXX  sebagai jalur tranportasi tidaklah pernah merusak Jalan PT. XXX , karena tidak ada satu itikad buruk Tergugat dalam upaya merubah  nilai dan fungsi Jalan PT. XXX  sehingga tidak dapat digunakan. Bahwa Jalan PT. XXX  adalah jalan yang dijadikan jalur umum bagi tranportasi sehingga tidak hanya Tergugat yang melewati dan menggunakan Jalan PT. XXX  sehingga kausalitas antara Tergugat yang melewati Jalan PT. XXX  dengan timbulnya kerusakan Jalan PT. XXX  tidaklah dapat diukur oleh karenanya tidak terdapat hubungan sebab akibat yang jelas. Karena satu akibat dapat disebabkan oleh beberapa sebab.
Ketiga, tentang kausalitas, Bahwa oleh karena tidak adanya perbuatan Tergugat yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban serta tidak adanya kausalitas antara perbuatan Tergugat dengan kerusakan Jalan PT. XXX   maka secara hukum Tergugat tidak melakukan Perbuatan Melawan Hukum.
 III.            TENTANG GANTI RUGI DALAM BENTUK SEWA.
Bahwa Tergugat tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap tanah jalan milik umum seperti apa yang menjadi anggapan Penggugat dalam gugatannya.
Bahwa sewa menyewa adalah satu bentuk perikatan yang timbul dari suatu kesesuai pendapat dan kehendak antara dua pihak untuk melakukan  tindakan hukum mengenai hal tertentu yang akibat hukumnya memang dikehendaki oleh para pihak dan tidak bertentagan dengan hukum.(vide Pasal 1320 KUHper)
Bahwa ganti rugi yang dimaksud merupakan satu akibat dari Perbuatan Melawan Hukum yang akibatnya jelas tidak dikehendaki oleh para Pihak.
Bahwa oleh karena sewa menyewa dan ganti rugi yang timbul merupakan dua bentuk perbuatan yang berbeda dimana ganti rugi lahir dari perikatan yang ada dalam undang-undang sedang sewa menyewa adalah perikatan lahir dari adanya persesuaian kehendak dalam sebuah tindakan hukum mengenai hal tertentu yang akibatnya memang dikehendaki oleh para pihak dalam suatu perjanjian.

Bahwa antara Penggugat dan Tergugat tidak ada hubungan hukum apapun dalam hal ini tentang kesepakatan perikatan untuk melakukan perjanjian sewa menyewa sehingga pembebanan ganti rugi atas dasar sewa adalah dalil yang tidak berdasar dan menyesatkan.

Proposal

PENINGKATAN PEMAHAMAN DAN KEPATUHAN MASYARAKAT
TERHADAP KONSTITUSI

A.    Latar belakang.
Konstitusi menurut C.F. Strong memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi masyarakat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuannya dalam bentuk Negara[1]. Dengan kata lain, konstitusi merupakan prinsip-prinsip fundamental dari sistem politik dan merupakan dasar hukum tertinggi pembentuk fondasi sebuah sistem “rule of law” bagi setiap Negara, dimana aspirasi nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat direfleksikan, kedaulatan politik dan keadilan hukum bagi masyarakat dijamin, dimana suprioritas pemerintah terhadap masyarakat dibatasi, pemisahan kekuasaan dilakukan dan tata cara dalam menjalankan roda pemerintahan diatur.
Kedudukan dan fungsi sentral inilah yang menjadikan pemahaman dan kepatuhan masyarakat terhadap konstitusi menjadi faktor yang penting dalam mengaktualisasikan sistem politik dan hukum dalam aktifitas sosial sebagai penutun menuju kemajuan dan perkembangan peradaban suatu Negara. Saat ini perkembangan masyarakat secara dialektis memicu perubahan tatanan sosial dan membawa implikasi tersendiri terhadap pemahaman dan kepatuhan masyarakat terhadap konstitusi. Pemahaman yang merupakan sumber dari kepatuhan saat ini menjadi hal penentu dari persoalan-persoalan kosntitusional yang dihadapi masyarakat Indonesia secara umum, persoalan ini terutama berkaitan dengan kontruksi berfikir masyarakat mengenai esensi dari konstitusi, terutama ketika dihadapakan pada kenyataan bahwa pemahaman masyarakat terhadap konstitusi masih sangat abstrak.
Selama ini mayoritas masyarakat, mengakui kedudukan konstitusi dan menjadikannya sebagai barometer dari semua sistem politik dan norma hukum, baik tentang kedaulatan masyarakat atas negara maupun keadilan hukum bagi masyarakat, meski pada hakekatnya kebanyakan dari mereka tidak memahami nilai-nilai didalamnya,    maka tidak heran jika dalam  implementasi penegakkan konstitusi sampai saat ini belum mampu untuk menjamin dan melindungi hak konstitusional masyarakat seperti hak suara dalam pemilu, masalah keadilan dan penegakan hukum, masalah sempitnya lapangan pekerjaan dan perampasan tanah, masalah komersialisasi pendidikan dan kebudayaan dll.
Kondisi ini tentu perlu segara untuk disikapi, karena kepatuhan dan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban konstitusionalnya menjadi salah satu indikator keberhasilan pemerintah dalam menjalankan tata pemerintahan. Kepatuhan dan kesadaran konstitusional masyakarat tersebut, pada dasarya bergantung pada seberapa dalam tingkat pemahaman masyarakat terhadap norma-norma yang secara emplisit maupun eksplisit diatur dalam konstitusi.
Atas dasar pandangan itulah, kami berpendapat bahwa kita semua tentunya tidak dapat melepaskan diri dari misi untuk memberikan penguatan-penguatan pemahaman konstitusi ditengah masyakat, agar kesadaran dan kepatuhan konstitusional dapat tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya aktifitas pendidikan dan diskusi tentang persoalan konstitusi secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat merupakan suatu kegiatan yang penting dan mendesak untuk segara kita lakukan, karena melalui aktifitas pendidikan dan diskusi inilah, pemahaman konstitusi masyakat akan meningkat sehingga kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap konstitusi dapat terwujud.

B.    Maksud dan Tujuan.
1.       Maksud.
Maksud dari penyelenggaraan kegiatan ini adalah untuk:
a.    Memfasilitasi pertemuan elemen masyarakat dari berbagai sector, klas dan golongan dalam sebuah media diskusi terbuka.
b.   Memberikan informasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban konstitusional.
c.    Meningkatkan pemahaman dan kesadaran konstitusional bagi seluruh element masyarakat dari berbagai sector, klas dan golongan;
d.   Merekomendasikan suatu rumusan detil, pembahasan, penafsiran, tanggapan dan masukan terhadap pemaknaan dan aktualisasi konstitusi agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik.
2.      Tujuan
Tujuan dari penyelenggaraan kegiatan ini adalah untuk:
a.    Melakukan peningkatan kapasitas masyarakat dalam menganalisa isu dan sengketa konstitusional demi terpenuhinya hak-hak konstitusional masyarakat.
b.   Membantu dan memfasilitasi pembahasan  persolan konstitusional yang dihadapi masyarakat.
c.    Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan konstitusi dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban konstitusional  negara terhadap masyarakat maupun masyarakat terhadap negara.
C.    Hasil yang diharapkan.
Hasil yang diharapkan dari penyelenggaraan kegiatan ini adalah :
1.    Meningkatnya pemahaman konstitusional masyarakat di seluruh sector, klas dan golongan.
2.   Terciptanya kepatuhan dan kesadaran konstitusional masyarakat diseluruh sector, klas dan golongan.

D.   Sasaran.
Sasaran dari kegiatan ini adalah:
1.         Jajaran birokrasi pemerintah baik Daerah maupun Nasional;
2.        Aparat Penegak hukum;
3.        Akademisi dan Praktisi Hukum
4.        Organisasi Masyarakat;
5.         Organisasi Mahasiswa;
6.        Organisasi Profesi;
7.         Seluruh Lapisan Masyarakat.

E.    Rancangan kegiatan
Kegiatan ini diselenggarakan dengan rangkaian kegiatan diantaranya:
1.       Pendidikan Materi Konstitusi
2.      Diskusi Materi Konstitusi
3.      Diskusi tematik tentang persoalan-persoalan konstitusional yang sedang berlangsung.
4.      Diskusi tentang konsepsi perubahan dan amandemen konstitusi
5.      Diskusi terbuka untuk membahas penajaman isu dan  strategi penyelesaian serta rekomendasi hasil dalam menyelesaikan persoalan konstitusi.

F.      Pelaksanan kegiatan.
Kegiatan Peningkatan Pemahaman dan Kepatuhan Masyarakat Terhadap Konstitusi ini akan dilakukan secara berkala setiap 2 (dua) kali dalam satu bulan terhitung sejak September 2014 – Januari 2015.
(Jadwal terlampir)
G.     Pelaksana Kegiatan.
Pelaksana kegiatan Peningkatan Pemahaman dan Kepatuhan Masyarakat Terhadap Konstitusi adalah unit kerja profesional yang berasal dari PILO dan terdiri dari :
1.    Pengarah (steering comite)
2.      Pelaksana (organisazing comite)

H.         Penutup
Demikianlah Proposal Peningkatan Pemahaman dan Kepatuhan Masyarakat Terhadap Konstitusi ini kami sampaikan, mengingat pentingnya kegiatan ini maka perhatian dan partisipasi aktif dari saudara saudara.  Atas perhatian dan partisipasinya diucapkan terima kasih.

L E M B A R    P E N G E S A H A N

P A N I T I A   P E L A K S A N A
P E N I N G K A T A N   P E M A H A M A N  D A N  K E P A T U H A N
M A S Y A R A K A T   T E R H A D A P   K O N S T I T U S I


KETUA
PELAKSANA




(;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;)
SEKRETARIS
PELAKSANA




(;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;)