Antara
Investasi,
Monopoli dan Penyadapan
Pengantar.
Arus Internasionalisasi capital
merupakan perkembangan termaju dari perkembangan capital industri dan capital
dagang yang membentuk sebuah oligarki finance yang termanifestasi secara
konkret dalam sistem Bretton Woods (new
hampshire; 1944) sebagai rahim yang melahirkan International Monetary Fund (IMF) dan juga “saudara”nya yakni, Internasional Bank for Recontruction and Development
(IBRD) atau Bank Dunia paska Great Depression pada dekade 1930-an, segitiga inilah yang mengantarkan
sistem capitalis menuju puncaknya yaitu Imperialism.
Pada perkembangannya, Internasionalisasi kekuasaan pengendalian modal terus
menyebar dan telah mempengaruhi perkembangan Sosial, Ekonomi, Politik dan
Kebudayaan di berbagai penjuru dunia. Kapitalisme monopoli Internasional
(Imperialisme) sebagai fase akhir dari system kapitalisme sekarang ini, terus
menyebarkan pengaruh dan memperkuat dominasinya diberbagai belahan dunia melalui cara-cara kasar Provokasi,
operasi intelejen dan Agresi Militer maupun cara-cara
halus Utang dan Investasi dengan menjerat
negara-negara berkembang khususnya di Asia dalam suatu wadah seperti APEC (Asia Pasific Economic Cooeporations) dan
menariknya kedalam media yang lebih besar yakni WTO (Word Trade Organization).
Dalam tulisan ini, penulis lebih ingin menyoroti masalah ekspansi
Capital dalam bentuk Investasi sampai pada
Monopoli dalam bidang Telekomunikasi di Indonesia, selain
karena tidak ingin terlalu melebar hal ini juga berkaitan dengan sebuah
fenomena yang hadir sebagai sebuah kenyataan dimana terjadi kasus penyadapan
orang-orang penting dinegeri ini seperti Presiden Republik Indonesia Susilo
Bambang Yudoyono (“SBY”), Ani Yudhoyono, Wapres Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla,
mantan Menpora Andi Mallarangeng, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, mantan
Menkeu Sri Mulyani, Widodo Adi Sucipto, dan Sofyan Djali dengan satu kesimpulan akhir bahwa kedudukan Korporasi
Telekomunikasi memegang peranan penting dan bertanggung jawab terhadap bocornya
rahasia negara.
Dari Investasi ke Monopoli
Komunikasi.
Investasi atau penanaman modal
dalam berbagai kepustakaan ekonomi atau hukum bisnis dapat berarti penanaman
modal yang dilakukan secara langsung baik oleh investor lokal maupun asing dan
penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing dalam
bentuk portofolio melalui lembaga pasar modal (Capital Market) sebagaimana
amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penanaman Modal.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (“UUPM”) Pasal 1 sendiri memberikan definisi terkait
investasi yakni “penanaman modal
adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha diwilayah Negara
Republik Indonesia”.
Adapun bentuk atau model investasi
ada beberapa versi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Michael J. Trebilcock dan
Robert Howse, Investasi langsung asing biasanya menggunakan satu dari tiga
bentuk berikut : pemberian dana modal
misalnya dalam joint venture atau pabrik baru; investasi baru untuk mendapatkan
perusahaan dan peminjaman jaringan melalui perusahaan induk atau partnernya”
Lalu apa itu Monopoli ?
Monopoli adalah
penggabungan dari beberapa kekuatan produksi (perusahaan) dalam mencari dan
membagi-bagi serta mengendalikan wilayah pasar dunia untuk kepentingan
akumulasi kapitalnya masing-masing. Monopoli terjadi bukanlah karena murni
keinginan dari para pemilik modal, akan tetapi merupakan hal yang terpaksa
dilakukan karena menghadapi persaingan yang semakin pesat. Karena logika dalam cara produksi kapitalisme adalah
saling menghancurkan antara perusahaan yang satu dengan yang lainnya.
Watak dasar dari Capitalism Monopoli
yang “Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif” telah
menciptakan sebuah
keadaan yang tidak biasa (krisis) dimana konsentrasi capital berada pada
segelintir klas (Imperialis) dan disisi lain kesengsaraan
dan penderitaan berada
di pundak rakyat diseluruh dunia. Skema Penghisapan Imperialis telah dijalankan dengan
baik oleh rezim dalam negeri melalui penindasan dan fasisme, secara sistemik
melalui kebijakan (deregulasi) maupun melalui perangkat kekerasan negara yakni
Tentara dan Polri;
Publik tentu masih ingat kejadian
krisis moneter (“krismon”) yang berawal di Thailand pada Juli 1997 dan memengaruhi
mata uang, bursa saham serta harga aset lainnya di beberapa negara Asia
termasuk di Indonesia yang disebabkan oleh liberalisasi perbankkan, kegagalan
management ekonomi makro, kelemahan sektor financial dan membesarnya
cronycapitalism dan sistem politik yang otoriter dan sentralistik.
Krisis Moneter inilah yang merupakan
pelempang awal menuju krisis politik yang mengetuk pintu reformasi di negeri
ini, akan tetapi pergantian rezim tidak mengubah wajah perekonomian di
Indonesia menjadi lebih baik, cara pandang, analisa dan strategi yang
sama dari Rezim Soeharto, Habibie, maupun Rezim
baru Gus Dur-Mega serta IMF sebagai wakil modal Internasional dalam
mengatasi Krisis Moneter saat itu telah mengantarkan pada kesepakatan skema SAP
(Structural Adjusment Program)
atau Program Penyesuaian Struktural yang didiktekan IMF melalui LoI (Letter
of Intents) kepada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis
besar adalah cetak biru dari kebijakan Wasington consesus : Liberalisasi
perdagangan, Privatisasi/swastanisasi BUMN, deregulasi, Penghapusan
subsidi (BBM, listrik, pendidikan,
kesehatan, telepon, dan lain- lain) dan Restrukturisasi keuangan;
Dalam konteks SAP
tentang Liberalisasi perdagangan dan Privatisasi/swastanisasi BUMN tersebut, Rezim
Gusdur (Abdurrahman Wahid) berusaha
meyakinkan rakyat, bahwa untuk menutupi kekurangan (defisit) anggaran
APBN, tidak ada jalan lain, kecuali menjual BUMN-BUMN untuk memperoleh devisa.
Argumen yang diajukan untuk memperkuat adalah:
bahwa BUMN-BUMN tersebut selama
ini menjadi sarang korupsi, dan pengelolaan oleh swasta akan lebih
menguntungkan negara. Maka yang terjadi
kemudian adalah puluhan BUMN dijual, atau sedang dalam proses penjualan. Antara
lain: PT Pupuk Kaltim, PTP Nusantara IV, PTP Nusantara IV, PTP VI, PT
Tambang batubara Bukit Asam, PT. Indofarma, PT. Kimia Farma, PT Angkasa Pura
II, PT. Aneka Tambang TBK, PT. Semen Padang, PT. Semen Gresik (sudah terjual),
PT. Pelindo II Tanjung Priok, PT. Pelindo III Surabaya, PT Jasa Marga, PT.
Krakatau Steel, dan PT. Indosat dari keseluruhan BUMN yang dimiliki pemerintah,
yang berjumlah sekitar 160 BUMN. Tidak terhitung lagi perusahaan yang semula
bukan BUMN, tetapi karena tersangkut kredit macet dan BLBI, akhirnya disita dan
dikelola oleh BPPN, dan kemudian dijual lagi kepada swasta seperti: PT. Astra,
Bank BCA, dan lain- lain;
Pasca turunnya
Gusdur secara dramatis, Era kepemimpinan Megawati-Hamzah juga tidak mau kalah,
liberalisasi sektor publik melalui swastanisasi BUMN bidang telekomunikasi juga
dilakukan, melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1999 dan dengan persetujuan DPR
RI, pemerintah melakukan penjualan
sebagian saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94 persen kepada Singapore Technology Telemedia (“STT”) dan Saham PT Telekomunikasi
Seluler (Telkomsel) Tbk Sebesar 35 persen kepada Singapore Telekom (“SingTel”) yang
keduanya merupakan anak perusahaan dari TEMASEK Holding Group Ltd
Singapura.
Indosat Tbk dan PT
Telkomsel Tbk pada awalnya merupakan provider
telekomunikasi BUMN terbesar di
Indonesia. Kedua perusahaan tersebut memiliki cakupan pasar sekitar 80 persen
dibandingkan dengan provider telekomunikasi yang lain sehingga secara tidak langsung Temasek Holding
Group Ltd Singapura yang memegang lebih dari sepertiga saham dan memiliki
kewenangan untuk mempengaruhi kebijaksanaan, strategi dan profit dari PT
Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk
atau bisa dikatakan
bahwa Temasek Holding Group Ltd Singapura tersebut merupakan Multi National Corporation yang menguasai hajat hidup orang
banyak di Indonesia terkait telekomunikasi.
Selain
Indosat Tbk dan PT
Telkomsel Tbk, Temasek pada Juli 2002
bersama Hutchinson Whampoa membeli Global Crosing senilai US$ 750 juta. Global
Crosing adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia yang menguasai
jaringan serat optik sepanjang 10 ribu mil yang menjangkau 27 negara di dunia
termasuk Amerika, Eropa dan Asia Pasifik, Dalam pengembangan jaringan
globalnya, STT pada Oktober 2002 juga membeli Equinix dan Pihana Pasific.
Keduanya adalah penyelenggara internet business exchange (IBM) sedang
Pihana Pasific menyelenggarakan neutral internet exchange data center di
Asia Pasific.
Investasi yang dilakukan oleh
TEMASEK melalui anak perusahaan Indosat, Telkomsel, Global Crossing, Pihana
Pasific dan Equinix, merupakan suatu bentuk monopoli di bidang telekomunikasi
karena Temasek menguasai hampir separuh jaringan telekomunikasi yang ada
didunia.
Swastanisasi
yang dilakukan oleh rezim saat itu telah berdampak pada, selain kerugian
material dan kesengsaraan rakyat, juga lebih kepada ancaman keamanan dan
keselamatan negara. Hal ini tentu tidak terlepas dari kepentingan Imperialisme
di Indonesia. Secara garis besar ada empat kepentingan Imperialisme di
Indonesia yakni : Eksploitasi Sumber Daya Alam sebagai penyedia Bahan Baku Bagi
Industri Imperialis, Eksploitasi Sumber Daya Manusia sebagai penyedia Tenaga
Kerja Murah bagi Industri Imperialis, Area Pasar bagi Produk Imperialisme dan
juga Sasaran Ekspansi Capital (Investasi dan utang);
Baru
– baru ini kasus penyadapan terhadap SBY dan orang-orang disekitarnya, diduga adanya keterkaitan peran salah satu
vendor telekomukasi (singtel) yang bekerjasama dengan intelejent australia-AS
untuk melakukan penyadapan;
Gejala
ini seharusnya sudah dapat di deteksi oleh Pemerintah Indonesia, publik semua
tahu bahwa krisis yang melanda tubuh Imperialis pimpinan Amerika Serikat yang
berlangsung sejak 2000 dan puncaknya 2008- saat ini merupakan krisis yang
paling buruk menerpa Imperialisme bahkan lebih parah dari Depresi Ekonomi Besar
(Great Depression) yaitu krisis di era akhir 1920-an s/d 1930-an yang menjadi
penyebab dari pecahnya Perang Dunia II.
Krisis
yang bermula dari over produksi barang-barang tehknologi dan persenjataan
tingkat tinggi dan sumprime mortgage (kredit macet perumahan) yang menyeret
Imperialism Amerika Serikat kedalam krisis finansial, sehingga impe kemudian
menciptakan satu opini terkait krisis energi dan pangan dunia sebagai
legitimasi rencana busuknya untuk keluar dari krisis dengan melimpahkan beban
krisis kepundak rakyat dunia dengan dalih kerja sama;
Penyadapan
terhadap SBY sebagai mitra potensial (sasaran empuk) sejak tahun 2009 merupakan
salah satu skema imperialis dalam mempertahankan ke-eksis’an sistem
kapitalisme, mereka sadar bahwa sistem ini akan membawa masyarakat dunia pada
suatu kesengsaraan akut, oleh karenanya dalam program politik selain mencari dan
menciptakan negara jajahan baru atau setengah jajahan baru, mereka juga
berupaya mempertahankan negara jajahan dan setengah jajahan yang telah berada
dalam dominasinya. Dilapangan ekonomi impe akan memaksimalkan lembaga-lembaga
dan forum-forum internasional guna mengkonsolidasikan negara-negara berkembang
sebagai satu sasaran pelimbahan beban krisis, dilapangan kebudayaan impe fokus
pada lembaga pendidikan, internet dan telekomunikasi guna mengkontrol aktivitas
dan melakukan idiologisasi.
Berdasarkan
analisa skema politik ekonomi dan budaya diatas maka penyadapan terhadap SBY
merupakan suatu hal yang sudah dapat diprediksi sebelumnya, Imperialisme AS
akan selalu memantau aktivitas negara sasaran Investasi guna tetap menjaga
modal yang telah ditanam, apalagi hal ini menjelang pertemuan akbar petinggi
Imperialis Dunia dan negara jajahannya (WTO) pada Desember 2013 di Bali .